Majalah
Bobo terbit pertama kali pada tanggal 14 April
1973. Cikal bakal majalah ini adalah halaman
anak-anak di Harian Kompas. Atas prakarsa Bapak PK
Ojong bersama Bapak Jakob Utama, pendiri Kompas, halaman anak-anak
ini dikembangkan menjadi majalah anak-anak. Bekerja sama
dengan Majalah Bobo Belanda, pengasuh halaman
anak-anak Kompas kemudian membuat Majalah Bobo
Indonesia.
Pada mulanya
Majalah Bobo terdiri dari 16 halaman kertas koran.
Majalah Bobo adalah majalah anak-anak pertama yang
berwarna di Indonesia. Sebagian isinya berasal dari
bahan-bahan di Majalah Bobo Belanda yang diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia. Sebagiannya lagi meneruskan rubrik
dari halaman anak-anak Kompas. Bapak Adi Subrata dan Ibu
Tineke Latumeten lah yang pertama-tama mengasuh
majalah anak-anak ini.
Kini
isi Majalah Bobo seluruhnya dibuat dan dikerjakan
oleh staf redaksi Bobo Indonesia. Isi dan
penampilannya pun semakin bervariasi. Hanya nama dan karakter
tokohnya tetap Bobo.
![]() |
Edisi Perdana |
Sambutan
hangat dan meluas dari pembaca membuat Majalah
Bobo menjadi majalah anak yang terdepan.
Walaupun gaya dan penampilannya selalu berbeda mengikuti perkembangan zaman, visi dan misi Majalah Bobo tetap sama. Majalah Bobo selalu mengutamakan menjadi teman bermain dan belajar anak. Dan selalu tampil aktual dalam menyambut masa yang datang. Sesuai dengan moto: Teman Bermain dan Belajar. (Dikutip dari situs konferensianak.com)
Cerpen
dan dongeng selalu menjadi sajian andalannya setiap terbit. Tokoh-tokoh
populer dalam majalahnya adalah di cergam keluarga Bobo, Oki dan
Nirmala, Paman Kikuk, Bona si Gajah Kecil Berbelalai Panjang, dan serial
LiEl. Sekarang setiap terbit full color.Walaupun gaya dan penampilannya selalu berbeda mengikuti perkembangan zaman, visi dan misi Majalah Bobo tetap sama. Majalah Bobo selalu mengutamakan menjadi teman bermain dan belajar anak. Dan selalu tampil aktual dalam menyambut masa yang datang. Sesuai dengan moto: Teman Bermain dan Belajar. (Dikutip dari situs konferensianak.com)
Nah.. Baca juga ulasan yang saya copy paste dari blog: peristiwanasional.wordpress.com yang mengutip artikel "Bacaan Indo untuk Kanak-kanak" di majalah TEMPO terbitan 18 Agustus 1973 berikut.
PT Gramedia menerbitkan majalah “bobo”. Sebagian besar isinya disadur dari “bobo” terbitan Belanda. Hak cipta oberon bv Belanda telah dibeli. Tapi majalah ini kurang mencerminkan suasana Indonesia.



Secara tidak tegas ia menyatakan bahwa tokoh bobo maupun setting dalam Kisah si Paman Kikuk sebagai sesuatu yang asing di mata kanak-kanak Indonesia. “Anak saya misalnya, tidak merasa asing dengan celana maupun baju yang terlukis dalam cerita itu”, katanya. Tapi lanjutnya pula: “Pelan-pelan, kita memang mengarah untuk menerbitkan cerita-cerita asli para pengarang Indonesia, supaya Idntasi kanak-kanak ada kaitannya dengan keadaan sekeliling. Tapi dalam waktu dekat rencana itu belum bisa kita laksanakan mel1gingat tenaga kita yang kurang. Cuma empat orang tenaga majalah ini, termasuk saya sendiri”.
Menurut Adi, untuk menerbitkan sebuah majalah kanak-kanak yang asli, memerlukan perlengkapan dan tenaga yang cukup. Karena kekurangan tenaga itulah, rupanya Granledia memilih jalan terdekat: membeli hak cipta dari Obero? BV Negeri Belanda. Pada salah satu halaman dalamnya dengan patuh tercantum keterangam World Copyright Oberon BV. Selanjutnya Adi pun mengeluh: “Hiburan buat kanak-kanak sesungguhnya belumlah memadai. Terutama dalam hal bacaan. Hiburan berupa taman-taman memang sudah cukup, sekali pun sayangnya cuma terasa di Jakarta saja. Perbandingan antara ibukota dengan daerah — dari peredaran majalah ini – menunjukkan bahwa minat orang-orang tua di daerah cukup besar”. Membandingkan Bobo dengan Si Kuncung dan Kawanku, J. Adisubrata mengatakan “sudah tentu berbeda”. Sebab tekanan kita tidak pada cerita tetapi pada gambar. Dengan rubrik Bermain Dengan Huruf kita bermaksud memancing daya kreatif kanak-kanak. Jadi kami tidak hanya menghidangkan cerita-cerita saja”.
Gambar atau cerita — mana yang lebih penting — tampaknya itu pun tergantung dari kebijaksanaan pengasuh masing-masing majalah. Kawanku atau Si Kuncung misalnya, kecuali menyajikan gambar juga banyak menghidangkan cerita. Tapi bahwa bobo sedikit banyak kurang mencerminkan suasana dan iklim Indonesia — di mana para pembaca hidup. Dan akhirnya, baik harganya yang Rp 35 maupun suasana isinya, tak ayal lagi hanyalah bisa dinikmati oleh kanak-kanak dari keluarga berada, paling tidak keluarga menengah.
![]() | ![]() | ![]() |
![]() | ![]() | ![]() |
![]() | ![]() | ![]() |
![]() | ![]() | ![]() |
![]() | ![]() | ![]() |
![]() | ![]() | ![]() |
![]() | ![]() | ![]() |
![]() | ![]() | ![]() |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar